PANCASONA WISATA PUNCLUT
Pemandangan dari Punclut di Pagi Hari Sumber : foto Said Fariz Hibban |
"Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum"
M.A.W. Brouwer
PUNCLUT , Puncak Ciumbuleuit Utara, demikian
nama yang dikenal warga Kota Bandung. Satu tempat di bagian Utara Bandung,
termasuk wilayah administrasi Kelurahan Ciumbuleuit Kecamatan Cidadap. Luas
Kawasan Punclut Kota Bandung adalah sekitar 268 ha, dengan topografi
bergelombang dan berbukit, terletak pada ketinggian ± 800 m s/d 1.000 m dpl.
Punclut, sekarang lebih dikenal karena hebohnya perebutan tatanan daerah itu,
dan lebih bernuansa politis. Padahal Punclut merupakan daerah potensial dilihat
dari fungsi ekologis, maupun sosial ekonominya. Terlihat di setiap hari libur
atau di hari Minggu penuh diserbu ribuan warga Kota Bandung.
Menurut sejarahnya, konon tanah punclut adalah bekas perkebunan teh warisan
jaman kolonial dahulunya. Kemudian sebagai tanah erpacht tersebut telah
beberapa kali ganti status kepemilikan. Dari tanah negara, kemudian dihibahkan
ke beberapa “Nama” sebagai bentuk penghargaan kepada sejumlah tokoh Jabar.
Selanjutnya tahun 1997 direvisi dengan dikembalikan ke negara, dengan mencabut
hak kepemilikan. Hingga kini pun Punclut masih dalam suasana “Panas” dan belum
tuntas, berhubung akan menjadi kawasan pemukiman elit.
Di balik kesemerawutan status dan fungsi dari kawasan Punclut, sebenarnya
tempat tersebut menyimpan pesona wisata. Pesona tersebut setidaknya telah ikut
menggulirkan perekonomian bagi warga setempat. Apabila Anda berkesempatan
berkunjung ke Punclut di hari Minggu, maka Anda akan menjadi bagian dari ribuan
warga Kota Bandung yang juga berkeinginan sama yakni menikmati suasana Punclut.
Lalu apa saja yang menjadi daya tarik tersebut, hingga membuat orang rela
berdesak-desakan di jalanan sempit selebar dua meter itu?
Pesona Alam
Tidak dapat dipungkiri bahwa Kota Bandung saat ini
sangat jauh berbeda dengan keadaan sepuluh tahun silam. Suasana Bandung
sekarang utamanya di siang hari, tak ubahnya dengan keadaan kota besar lainnya
di Indonesia. Gerah dengan segala atribut kota seperti kemacetan lalulintasnya.
Dari itu tidak mengherankan apabila banyak warga Kota Bandung yang ingin
menikmati segarnya udara, dan semilirnya angin sejuk yang menyapu badan.
Setidaknya suasana nostalgia dengan iklim sejuk tersebut masih dapat dirasakan
di Punclut.
Apalagi dari Punclut kita dapat menikmati suasana pemandangan yang menyejukan
mata, melihat hijau dan gunung dikejauhan dapat menenangkan pikiran. Terlihat
Kota Bandung jauh terhampar di bawah perbukitan. Dari ketinggian kita melihat
Kota Bandung yang angkuh, tak lebih dari sejumput kota yang diam membisu.
Hilang sudah ketegangan karena aktivitas kerja sepekan. Dengan demikian kita
bisa merasakan betapa kebesaran Tuhan sang Pencipta Alam.
Pesona Raga
Menuju Punclut kebanyakan warga memang dengan berjalan
kaki. Tentunya ini adalah gerak badan, olah raga yang menyehatkan. Berjalan
kaki sambil menikmati pemandangan alam. Melepaskan stress kehidupan dari
berbagai aktivitasnya masing-masing. Adapun jarak hingga puncak sekitar
berjarak enam kilometer pulang pergi. Tetapi itu tergantung kesiapan dari
masing-masing pengunjung, ada yang terus hingga puncak ataupun berhenti di
sekitar pemancar RRI. Kebanyakan keluarga yang disertai anak-anak memang sampai
di kawasan pemancar, setelah menikmati jalan yang menanjak, atau mencoba
menaiki kuda khususnya bagi anak-anak.
Sebelum kawasan pemancar, ada sebuah lapangan bola yang hampir tidak berumput
mungkin saking seringnya dipakai. Tampak meriah digunakan oleh dua tim yang
bertanding, dengan kostum seragam yang berbeda. Tidak sedikit pengunjung yang
ikut menonton pertandingan sambil melepas lelah dari sisi sisi jalan. Tentu
saja ada aneka penganan yang dapat dinikmati di sekitar, karena banyak
warung-warung yang menjajakan berbagai makanan dan minuman.
Punclut pun banyak dijadikan daerah tujuan bagi klub-klub penghobi jogging,
memanfaatkan jalur yang ada dan memanfaatkan suasana Punclut untuk dapat
berkumpul dan bersilaturahmi di antara anggota klub mereka. Begitu pun para
penggiat sepeda gunung, tidak ketinggalan memanfaatkan daerah Punclut sebagai
ajang penyaluran olah raga mereka. Melahap tanjakan, memacu nafas, hanya saja
sedikit terhambat karena jalanan yang begitu padat oleh orang.
Pesona Rasa
Yang lain lagi dari sensasi Punclut adalah makanan yang
ada di tawarkan di sana. Setelah selesai berolah raga, tidak tertahankan untuk
segera memanjakan diri dengan berbagai penganan yang memang mengundang selera.
Tentu dari kita akan memiliki nilai nostalgia tersendiri dari berbagai makanan
yang ada. Sebagai orang Sunda saya merasakannya, di Punclutlah surga kuliner
tersebut. Seperti makanan galendo, yah.. makanan yang merupakan sisa dari
pembuatan minyak kelapa, ada di tawarkan di Punclut. Hal ini mengingatkan saya
terhadap nenek saya. Dia sering membawakan oleh-oleh makanan tersebut jika
datang berkunjung waktu dulu saya kecil. Sekarang entah siapa lagi yang masih
mewarisi tradisi pembuatan minyak kelapa itu. Hilang, dan saya pun mencicipi
makanan ini setelah lebih dari 20 tahun tidak mengingatnya.
Mungkin Anda akan memiliki makanan lain sebagai pengingat masa kecil dulu.
Banyak sekali makanan yang ada dan dijajakan disana, dari mulai tutut sejenis
keong sawah (ingat dongeng Kabayan mencari tutut), jengkol (makanan dengan bau
khas tapi dirindukan), dan yang mengherankan apel washington pun tidak mau
ketinggalan, ada ditawarkan bersama anggur. Belum lagi suasana saat kita makan
bersama keluarga, dengan lesehan menikmati nasi timbel, nasi beras merah
beralas daun, dan yang pasti makanannya sunda banget.
Pesona Belanja
Setelah menikmati penganan yang ada di tempat, tentu
tidak seru kalau tidak membawa sedikit oleh oleh untuk di rumah. Banyak barang
yang ditawarkan, dari mulai urusan sayur mayur keperluan dapur hingga pakaian,
baju dan asesorisnya. Dari mulai sandal, pakaian dalam hingga urusan kredit
sepeda motor. Dari mulai minuman kasedep, yaitu bandrek hingga es krim ada
dijajakan. Semua ada, terserah selera dan dompet kita.
Paling tidak sayur sayuran akan menjadi pilihan untuk dibawa pulang. Seperti
lalab-lalaban yang kini sudah jarang ditemui, yaitu, tespong, antanan, sayur
pucuk daun labu, dan lainnya. Umbi-umbian dari mulai singkong yang masih banyak
di dapat, juga ubi, hingga ganyong dan sagu yang telah mulai terpinggirkan.
Makanan tersebut sekarang makin susah didapat, dan memang anak kita pun
bertanya : “Pak makanan apa itu?”
Pesona Budaya
Saya sempat tertegun dalam salah satu kunjungan ke
Punclut. Setelah melewati kawasan pemancar RRI dan terus lagi melalui tugu
perbatasan antara Kota dan Kabupaten Bandung, terdengar samar-samar suara
dentingan kecapi, yang timbul tenggelam terbawa angin. Saya pikir ada warga
sekitar yang sedang melaksanakan hajat. Semakin lama semakin jelas dan akhirnya
membawa kita bertemu dengan sumber suara tersebut. “Oh... ti dieu sora teh” (Oh... dari sini suara itu). Demikian banyak orang
melepas kepenasarannya. Dari sebuah panggung kecil, tampak pak tua dengan kedua
anak kecil, laki dan perempuan sedang asyik membawakan lagu-lagu dari peralatan
sederhana. Pak Tua memetik kecapi sekaligus menyanyi, anak perempuan menabuh
gong, dan akan laki laki menabuh kendang. Sorban palid dan lagu daerah lainnya
yang dibawakan cukup melenakan menambah kecintaan pada tanah air...
Hanya dengan dibantu sound sistem seadanya, mereka berkreasi. Secara tidak
langsung pak tua mungkin sedang membimbing kedua cucunya untuk menggeluti
gamelan Sunda. Ada sebuah kotak yang ditempatkan di pinggir jalan, dan sebagai
tanda apresiasi dari para pengunjung akan memberi uang seiklasnya. Kenyataan
memang seni sunda pun semakin menghilang. Siapa sekarang yang mewarisi budaya
tersebut, keadaan saat ini telah kalah oleh gebyarnya musik hip hop yang begitu
digandrungi generasi muda.
Kondisi Punclut tercipta dengan sendirinya, banyaknya warga yang datang telah
menciptakan interaksi, sosial, ekonomi. Bagaimana jika untuk itu ada yang lebih
peduli? Setidaknya dari kalangan pemerintah mengadakan pembinaan dan penataan
untuk kebaikan bersama, tidak hanya sekedar jago dalam penarikan retribusi
seperti yang terlihat. Misal untuk pak tua tersebut, karena hal itu dapat
membantu menunjang kehidupan warga, serta mewariskan tradisi, dan juga
menghibur para pengunjung Punclut.
Punclut satu pesona wisata nostalgia, akankah hilang dengan berlakunya egoisme
pembangunan? Dimana yang terjadi kini, pembangunan selalu lebih berpihak pada
golongan the Haves, dan kenyataannya kembali rakyat kecil tetap menjadi kaum
marjinal. Sebelum Punclut tertelan deru Pembangunan, ada baiknya untuk bersama
menjaganya. Pertama adalah dari musuh utama, yakni sampah. Hendaknya semua yang
berkepentingan menyadari hal tersebut, baik pengunjung ataupun pedagang. Kedua
tidak membiarkan Punclut gersang seperti layaknya lapangan sepak bola, hanya
ada rumput dan mengharamkan pohon untuk tumbuh. Karena hal itu semua akan
membuat Punclut tak elok lagi.
Komentar
Posting Komentar